Bongkah.id – Kemarin, langit mendung menggantung di atas Jembatan Rolak 9, perbatasan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Sidoarjo. Di bawah jembatan, Sungai Brantas mengalir deras membawa arus kehidupan dan kadang, juga kisah tragis yang tak terduga.
Sore, Rabu (2/7) kemarin, sekitar pukul 15.15 WIB, lalu lintas di sekitar Rolak 9 mendadak padat merayap. Bukan karena kendaraan mogok atau perbaikan jalan, melainkan karena pandangan para pengendara terpusat ke arah sungai. Bisik-bisik kabar cepat menyebar, ada seorang pemuda menceburkan diri ke Brantas.
Tak butuh waktu lama, identitasnya terungkap di antara kabar simpang siur. Sieyusafa Romadhona, 20 tahun, warga RT 05 RW 03 Karang Nongko, Kecamatan Wonoayu, disebut-sebut sebagai pria yang nekat mengakhiri hidupnya di jembatan Rolak Songo itu. Keluarga korban datang tergesa ke lokasi, berharap kabar itu hanya kabar burung. Tapi sepeda motor Honda Beat merah bernopol W 3029 ZX yang terparkir di Perum Jasa Tirta menghapus sisa harapan mereka.
“Dapat kabar dari media sosial, ada anak nyemplung di Rolak, tambah pasti setelah ada sepeda motor yang sesuai,” ujar salah satu pihak keluarga korban, Kamis (3/7/2025).
Bagi keluarga, kabar ini memukul begitu dalam. Sieyusafa dikenal sebagai anak yang penurut, jarang pergi tanpa berpamitan.
“Kemarin itu, tidak pamit, dan biasanya kalau keluar pasti ke tempat saudara-saudaranya yang berjualan kopi. Karena saudara-saudaranya kan buka warung kopi,” imbuhnya.
Di lokasi, saksi mata bernama Anang masih ingat jelas detik-detik terakhir sebelum Sieyusafa menghilang ditelan arus Brantas. Sore itu, Anang yang biasa berjaga di sekitar jembatan Rolak 9 melihat seorang pemuda berjalan mondar-mandir di tepi jembatan, matanya menatap ke hilir sungai yang keruh.
Sambil mendekat, Anang sempat mendengar permintaan singkat darinya. “Tidak pesen apa-apa hanya ngomong titip sepeda,” ujar Anang menirukan ucapan korban.
Anang mengaku tak menanggapi serius permintaan itu. Lalu lintas padat, kendaraan berseliweran, dan hiruk pikuk sore itu membuatnya hanya mengangguk sekilas. Namun, sesaat kemudian, tanpa sepatah kata lagi, Sieyusafa berjalan mendekati pagar pembatas jembatan. Sekejap, tubuhnya lenyap di hempasan arus Sungai Brantas yang deras.
“Kejadian sekitar jam 3 sore tadi, ya hanya sepeda itu saja,” lanjut Anang dengan nada pelan, seolah masih sulit percaya apa yang baru disaksikannya.
Sepeda motor Honda Beat merah itulah satu-satunya penanda bisu yang tertinggal. Sejak itu, warga berdatangan. Beberapa berdiri di tepi jembatan, sebagian menepi di bahu jalan, berusaha memotret sisa-sisa peristiwa yang hanya meninggalkan arus sungai yang terus bergemuruh.
Sementara itu, di sekitar lokasi, lalu lintas terus tersendat. Mobil, motor, truk saling berdesakan karena banyak pengendara melambatkan laju hanya untuk sekilas melihat sungai. Bagi sebagian orang, Rolak Songo sore itu hanya sekadar jembatan penghubung dua kabupaten.
Tapi bagi keluarga Sieyusafa, jembatan itu kini menjadi saksi bisu titik akhir jejak hidup seorang anak muda yang pergi tanpa pamit, meninggalkan tanya dan duka yang mengapung bersama arus Sungai Brantas. (Ima/sip)