
bongkah.id – Pada peringatan Hari HIV/AIDS Sedunia 2025, publik tersentak oleh kenyataan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Penyebaran HIV di kalangan pelajar dan mahasiswa di Kota Kupang kini melampaui angka kasus pada pekerja seks komersial (PSK).
Fakta ini disampaikan langsung oleh akademisi dan pengamat sosial, Prof. Renald Kasali, yang menilai situasi tersebut sebagai tanda serius bahwa bangsa ini tengah menghadapi darurat pendidikan reproduksi.
“Jumlah penderita HIV di kalangan pelajar atau mahasiswa di kota Kupang itu sudah melebihi jumlah penderita HIV di kalangan PSK. Ini satu hal yang mencengangkan,” ujar Prof. Renald dalam penjelasannya.
Kalimat pembuka itu bagai tamparan keras bagi publik yang selama ini merasa aman di balik asumsi bahwa HIV hanya berkutat di lingkaran-lingkaran prostitusi.
Lebih memprihatinkan lagi, menurut data yang ia kutip, sebanyak 82 ribu remaja di NTT menikah di bawah usia 19 tahun, sebuah indikator betapa rapuhnya pendidikan reproduksi dan kesiapan emosional generasi muda di kawasan tersebut.
Di sisi lain, masih banyak warga yang tidak memiliki akta kelahiran, sehingga terjebak dalam lingkaran besar problem sosial yang ia sebut sebagai “Fatherless Generation”. Anak-anak yang tumbuh tanpa kejelasan figur ayah, tanpa administrasi identitas yang memadai, tanpa jaminan akses pendidikan yang layak.
Masalah ini bukan sekadar statistik, melainkan potret buram sebuah generasi yang berjalan tanpa kompas moral, sosial, dan biologis.
Remaja yang terpapar gaya hidup “tukar pasangan” tanpa pemahaman tentang risiko penyakit menular seksual menunjukkan bahwa ruang-ruang edukasi formal telah gagal menjangkau kebutuhan dasar mereka.
“Kaum terpelajar tetapi tidak paham hal ini dan justru menjadi pusat penyebaran. Masalahnya, diajarin apa tidak?” tegas Renald.
Pendidikan seksualitas yang pada era sebelumnya diberikan sejak tingkat SD atau SMP. Tentang anatomi tubuh, proses pembuahan, hingga risiko infeksi menular, kini justru raib dari kurikulum dan dari kesadaran sosial masyarakat.
Maka tidak heran jika kampus dan sekolah, tempat yang seharusnya menjadi pusat pembentukan intelektual, justru berubah menjadi titik rentan penyebaran penyakit.
Selama ini, pemerintah dan lembaga sosial kerap memusatkan edukasi HIV/AIDS hanya kepada kelompok PSK. Cara pandang lama inilah yang terbukti keliru.
“Selama ini pikirannya begitu. Tapi kali ini datanya menunjukkan lebih besar di kalangan pelajar dan mahasiswa, kaum terdidik,” ucap Renald.
Situasi ini menuntut respons serius dari pemerintah. Renald menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh ragu bekerja sama dengan lembaga internasional seperti UNFPA, yang memiliki mandat kuat dalam isu kesehatan reproduksi, terutama untuk usia muda.
Kolaborasi lintas lembaga ini penting untuk merumuskan kurikulum komprehensif dan kampanye edukatif yang mencerahkan, bukan sekadar menakut-nakuti.
Fenomena di Kupang ini bukan hanya masalah kesehatan tetapi juga kritik sosial terhadap kegagalan sistem pendidikan, lemahnya tata kelola keluarga, dan minimnya keberanian negara untuk membuka ruang edukasi reproduksi yang ilmiah dan sehat.
”Ketika generasi muda kehilangan arah, masa depan bangsa ikut terseret deru krisis yang tidak kasat mata namun sangat mematikan,” tandas Prof. Renald. “Ini alert bagi kita. Kita harus menaruh perhatian.”
Tanda bahaya itu kini berkedip-kedip semakin terang. Pertanyaannya tinggal satu, apakah kita siap mengambil tindakan atau membiarkan generasi ini terseret arus ketidaktauan yang membawa mereka pada jurang penderitaan yang tak perlu terjadi? (kim/wid)



























