bongkah.id — Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta para buruh anggotanya di seluruh Indonesia untuk aksi demonstrasi serentak pada Senin (2/10/2020). Agenda aksinya menolak dan meminta pembatalan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja Omnibus Law. Demikian pula menuntut agar upah minimum tahun 2021 (UMP, UMK, UMSP, dan UMSK) tetap naik.
Sekretaris konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Timur, Jazuli mengatakan, tanggal 31 Oktober 2020 mestinya merupakan batas akhir Gubernur se-Indonesia untuk menetapkan dan mengumumkan besaran UMP tahun 2021. Namun hal itu terganjajal surat edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan nomor: M/11/HK.04/X/2020. Buruh Jatim pun mendesak agar Khofifah mengabaikan SE itu.
Karena itu, sejumlah serikat buruh di Jawa Timur dipastikan juga akan menggelar aksi unjuk rasa pada Senin (2/11). Mereka menuntut Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk mengabaikan SE Menaker Ida. Sikap yang sudah ditunjukkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Yakni tetap menaikkan besaran upah minimum provinsi (UMP) 2021.
“Serikat pekerja dan serikat buruh di Jatim mendesak Gubernur Khofifah mengabaikan SE Menaker tersebut, dengan tetap menaikkan upah minimum provinsi tahun 2021 sebesar Rp. 2,5 juta,” katanya.
Ada sejumlah alasan yang mendasari para buruh menghendaki kenaikan UMP tahun 2021. Antara lain Undang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2003, yang menerangkan bahwa penetapan upah minimum merupakan wewenang gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi.
“Dewan Pengupahan Provinsi Jatim dari unsur serikat pekerja atau serikat buruh dalam rapat Dewan Pengupahan yang dilaksanakan pada 27 Oktober 2020 sepakat tetap ada kenaikan UMP Jawa Timur tahun 2021. Karena itu, Gubernur Khofifah sepatutnya mendengarkan dan merealisasi suara para buruh tersebut,” ujarnya.
Ia melanjutkan, SE Menaker Nomor: M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 Pada Masa Pandemi Covid-19 bukanlah produk hukum yang mengikat. Kualitasnya dibawah UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan . Karena itu, tidak harus dilaksanakan oleh Gubernur Jawa Timur.
Intervensi pemerintah pusat dalam hal penetapan upah minimum melalui SE Menaker itu, ditegaskan, sudah berlebihan. Bahkan melalui SE Mendagri tidak hanya terjadi pada saat Gubernur Khofifah saja.
“Tahun-tahun sebelumnya pada saat kepemimpinan Gubernur Soekarwo juga acap kali dilakukan. Namun Gubernur Soekarwo mengabaikan SE-SE tersebut, tapi patuh pada UU Ketenagakerjaan. Faktanya tidak ada sanksi dari pemerintah pusat kepada Gubernur Soekarwa pada saat itu,” tambahnya.
Disparitas upah minimum di Jatim dari upah minimum tertinggi (Kota Surabaya), dengan upah minimum terendah (Kabupaten Magetan) mencapai angka 120 persen atau sebesar Rp. 2.287.157,46. Untuk memperkecil disparitas tersebut, dikatakan, Gubernur Khofifahharus menaikkan UMP secara signifikan. Sebab UMK tidak boleh lebih rendah dari UMP. Apalagi saat ini Provinsi Jatim menempati peringkat ketiga UMP terendah se-Indonesia, setelah Provinsi DIY dan Jawa Tengah.
Alasan tak menaikkan upah minimum karena pandemi Covid-19, dinilainya, juga tak tepat. Ia menyebut pada 1998 Indonesia juga pernah mengalami resesi ekonomi, yang mengakibatkan pertembuhunan ekonomi jatuh diangka minus 17,6 persen. Juga, inflasi mendekati angka 78 persen. Namun, saat itu untuk meningkatkan daya beli masyarakat, maka upah minimum tetap dinaikkan sebesar 16 persen.
“Gubernur Jatim merupakan pilihan rakyat Jatim. Bukan pilihan pemerintah pusat, sudah seharusnya Gubernur Jatim lebih mementingkan kondisi ekonomi rakyat Jatim dengan meningkatkan daya beli ditengah pandemi,” katanya. (rim/END)