Bongkah.id – Komisi Pemberantasan Korupsi sudah sering menangani kasus suap melalui jual beli jabatan yang melibatkan kepala daerah. Namun skandal serupa dengan modus penundaan pemilihan kepala desa (pilkades) untuk mengangkat penjabat kades (Pj) dari kalangan ASN seperti yang dilakukan Bupati Kabupaten Probolinggo Puput Tantriana Sari boleh jadi merupakan hal baru.
Skandal jual beli jabatan yang menyebabkan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari terjaring operasi tangkap tangan, Senin malam (30/8/2021) tercatat sebagai kasus ketujuh yang ditangani KPK sejak tahun 2016. Sebelumnya, lembaga antirauah membongkar perkara serupa di Pemerintah Kabupaten Klaten, Nganjuk, Cirebon, Kudus, Jombang dan Pemerintah Kota Tanjungbalai.
Seluruh kepala daerah di tujuh daerah tersebut akhirnya menjadi tersangka dan beberapa sudah divonis oleh Pengadilan Tipikor. Mereka yakni Bupati Klaten Sri Hartini, Bupati Nganjuk M. Taufiqurrahman, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, Bupati Kudus Muhammad Tamzil, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.
“Penyalahgunaan wewenang dan benturan kepentingan memang rentan terjadi dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi ASN di lingkungan pemerintah daerah memang rentan terjadi,” kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati kepada wartawan, Rabu (1/9/2021).
Ipi tak menampik proses yang seharusnya lazim dilakukan dalam birokrasi pemerintahan itu justru sering dijadikan ladang oleh oknum kepala daerah untuk mengeruk keuntungan pribadi. Meskipun beberapa di sektor lain juga rentan terjadi penyelewengan.
“KPK mengidentifikasi beberapa sektor yang rentan terjadi korupsi. Di antaranya terkait belanja daerah seperti pengadaan barang dan Jasa. Kemudian, korupsi pada sektor penerimaan daerah mulai dari pajak dan retribusi daerah maupun pendapatan daerah dari pusat; dan korupsi di sektor perizinan mulai dari pemberian rekomendasi hingga penerbitan perizinan,” ungkapnya.
Hanya untuk suap jual beli jabatan Pj Kades di Pemkab Probbolinggo yang baru-baru ini diungkap KPK barangkali merupakan modus baru. Skenario penyalahgunaan wewenang itu diawali dari kebijakan menunda pilkades dengan alasan pandemi COVID-19.
Kebijakan itu bahkan diluncurkan beberapa tahun sebelum kades yang sedang menjabat (petahana) lengser dari kursinya dan disahkan melalui peraturan bupati. Dalam kasus Bupati Probolinggo, ada lima payung hukum terkait proses Pilkades dan pemerintahan desa yang diterbitkan .
Pertama, Bupati Puput Tantriana berkolaborasi dengan DPRD menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Desa yang diundangkan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Soeparwiyono pada 21 Desember.
Setahun berikutnya, istri Anggota DPR dari Fraksi Partai NasDem Hasan Aminuddin itu mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa Kabupaten Probolinggo. Regulasi ini diundangkan Sekda Soeparwiyono pada 6 Februari 2018.
Pada periode jabatannya yang kedua di tahun yang sama, Bupati Puput kembali menerbitkan peraturan yakni Perbup Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pedoman Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa. Perbup ini juga diundangkan Sekda Soeparwiyono pada 28 November 2018.
Keempat, Bupati Puput menerbitkan Perbup Nomor 37 Tahun 2019 tentang Dana Bantuan Pemilihan Kepala Desa Serentak dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diundangkan oleh Sekda Soeparwiyono pada 26 Juli 2021. Dan terakhir, mantan pegawai Bank Jatim itu mengesahkan Perbup Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pedoman Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa.
Lima peraturan itulah yang diduga memuluskan skenario penundaan pilkades hingga berujung pada pengangkatan Pj Kades. Modus tindak pidana korupsi yang dilakukan Bupati Puput dibantu suaminya Hasan Aminuddin akhirnya tercium KPK hingga keduanya dicokok dan ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam kasus tersebut, ada 22 orang yang menjadi tersangka. Bupati Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminuddin serta dua Camat, Doddy Kurniawan (DK) dan Muhamad Ridwan (MR) ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.
Sedangkan 18 orang lain ialah tersangka pemberi suap. Mereka diduga merupakan ASN Pemkab Probolinggo yang akan diangkat sebagai Pj Kades. (Baca: Jual Jabatan Pj Kades, Pasutri Anggota DPR RI dan Bupati Probolinggo Jadi Tersangka).
Modus Serupa Tercium di Pemkab Sampang
Ironisnya, modus suap lewat jual beli jabatan Pj Kades tersebut terindikasi juga sedang terjadi di beberapa pemda lain, di antaranya Pemerintah Kabupaten Sampang, Madura. Kebijakan Bupati Slamet Junaidi menunda pelaksanaan Pilkades dengan dalih pandemi COVID-19 menuai protes keras dari masyarakat Sampang dalam beberapa hari terakhir.
Tercatat ada 111 kades di Kabupaten Sampang yang masa jabatannya akan berakhir Desember 2021. Karena itu, pemkab bersiap menyiapkan penjabat (Pj) untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut.
Bupati Slamet Juanidi menelurkan SK 188.45/272/KEP/434.013/2021 tentang penundaan pilkades serentak di 180 desa sampai tahun 2025.
”Kami masih mampu menugaskan ASN untuk menjadi Pj Kades,” kata Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Sampang Yuliadi Setiyawan kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Pemkab Sampang rupanya tidak mempermasalahkan masa jabatan Pj Kades berlangsung cukup lama. Pemkab akan terus melakukan evaluasi secara berkala terhadap kinerja Pj Kades setiap enam bulan sekali.
”Di situlah pemkab akan mengkaji, adakah Pj yang bekerja tidak sesuai dengan ketentuan. Ketika tidak sesuai bisa diganti,” tandas Wawan.
Sementara Bupati Sampang Slamet Junaidi belum memberikan respon ketika dikonfirmasi bongkah.id terkait penundaan pilkades serentak di daerahnya. Meski sudah bisa diindikasi dari paparan tadi bahwa kebijakan tersebut rawan terjadi penyalahgunaan wewenang sampai tindak pidana suap atau gratifikasi. (bid)