Bongkah.id – Hawa panas bercampur lembap di lorong-lorong Pasar Tradisional Pon, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Suara teriakan pedagang sayur bersahut-sahutan dengan hiruk-pikuk pembeli yang mondar-mandir menawar harga. Namun, di balik aktivitas pasar yang tampak biasa, ada keresahan yang makin terasa: harga cabai dan tomat terus merangkak naik, menekan pedagang dan pembeli.
Hari, salah satu pedagang sayur yang siang itu duduk bersandar di balik tumpukan cabai, menarik napas panjang sebelum bercerita.
“Kenaikan sudah terasa sejak sepuluh hari terakhir. Naiknya bertahap, sekitar Rp 3 ribu sampai Rp 5 ribu tiap hari,” ujarnya, sambil merapikan cabai rawit yang kini harganya sudah menembus Rp 75 ribu per kilogram. Padahal, sebelumnya hanya Rp 40 ribu.
Bukan hanya cabai rawit yang meroket. Cabai merah besar pun tak mau kalah. Dari Rp 20 ribu, kini harganya sudah dua kali lipat, mencapai Rp 40 ribu per kilogram. Hari menyebut, biang keroknya adalah cuaca yang tak bersahabat. Hujan terus-menerus membuat banyak panen cabai dan tomat busuk sebelum sampai ke pasar.
“Stok dari petani menipis, banyak yang busuk karena hujan terus,” ungkapnya, Selasa (1/7/2025).
Tak hanya cabai, tomat pun menyusul melambung. Tomat biasa yang dulu hanya Rp 10 ribu kini melesat ke Rp 18 ribu hingga Rp 20 ribu per kilogram. Tomat buah bahkan lebih mahal lagi, tembus Rp 30 ribu per kilogram.
“Tomat paling terasa naiknya. Dulu Rp 10 ribu, sekarang dua kali lipat lebih. Banyak yang busuk dari petani,” lanjut Hari, pasrah.
Kenaikan ini merembet ke penjual makanan kecil. Mujiati, penjual nasi pecel dan nasi ampok di sudut pasar, hanya bisa menghitung-hitung ulang takaran bumbu agar warungnya tetap ramai.
“Biasanya tomat cuma Rp 3 ribu, sekarang sampai Rp 15 ribu. Ya terpaksa dikurangi porsinya, kalau enggak rugi,” keluh Mujiati, sambil meracik sambal pecel di atas pincuk daun pisang.
Di tengah kondisi yang makin menyesakkan, para pedagang dan warga hanya bisa berharap ada tangan pemerintah daerah yang turun tangan. Mereka ingin harga kebutuhan pokok, terutama di pasar tradisional, bisa kembali stabil. Bagi mereka, setiap lonjakan harga berarti mengencangkan ikat pinggang lebih erat lagi atau mengurangi rasa bumbu di piring pelanggan. (Ima/sip)