Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah pernah menjadi tokoh yang dianggap berkontribusi dalam gerakan antikorupsi. Kini dia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari hasil pemeriksaan, dia diduga terima gratifikasi pelicin pengadaan barang, jasa dan pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan.
by prima sp vardhana / bongkah.id
SEBUAH komedi politik yang cukup mengejutkan. Politisi yang dibangga-banggakan PDI Perjuangan sebagai sosok berintegritas dan anti-korupsi, dibuktikan dengan penghargaan dari Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) yang diterimanya pada 2017 lalu itu, ternyata tidak berbeda dengan koruptor lain, baik yang ditangkap KPK. Demikian pula yang berhasil ditangkap Polri dan Kejaksaan.
Sikap integritas, jujur, bersih, dan anti-korupsi yang dipamerkan Nurdin Abdullah hanyalah lipstik politik. Topeng jujur pencitraan pendukung ambisi berkuasanya, untuk memuluskan strateginya mengeruk fulus haram bermodal jabatan.
Fakta itu tercermin dari jejak koper gratifikasi berisi Rp2 miliar, yang membuat pria bergelar profesor itu dijemput KPK di rumah dinas Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Jumat (26/2/2021). Setidaknya, ada lima orang lainnya yang dicokok KPK dan menjalani pemeriksaan. Kelima itu merupakan pejabat di lingkungan Pemerintahan Provinsi Sulsel dan pihak swasta.
Usai penangkapan itu, KPK menetapkan tiga orang tersangka yakni Nurdin Abdullah (NA) dan Sekretaris Dinas PUPR Sulsel Edy Rahmat (ER) sebagai penerima. Sementara, satu orang lainnya, adalah Agung Sucipto (AS) sebagai tersangka pemberi suap dari unsur swasta.
“Dari hasil pemeriksaan, barang bukti koper berisi gratifikasi NA sejumlah Rp2 miliar itu diserahlan AS melalui ER pada 26 Februari 2021. Dana gratifikasi itu imbalan untuk pelicin pengadaan barang, jasa dan pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/2/2021) malam.
Di hari penangkapan itu, Agung Sucipto memberikan uang gratifikasi untuk Nurdin Abdullah melalui perantaraan Edy Rahmat, yang merupakan representasi dan sekaligus orang kepercayaan Nurdin. Sekitar pukul 20.04 WITA, Agung Sucipto bersama Irfan menuju ke salah satu rumah makan di Makassar. Di tempat tersebut, Edy Rahmat sudah menunggu.
Kemudian sekitar pukul 21.00 WITA, Irfan memindahkan koper yang diduga berisi uang gratifikasi ke mobil majikannya di Jalan Hasanuddin. Pukul 23.00 WITA, Agung Sucipto diamankan personil KPK saat dalam perjalanan menuju ke Bulukumba. Sedangkan sekitar pukul 00.00 WITA, Edy Rahmat beserta uang dalam koper senilai Rp ]2 miliar diamankan personil KPK di rumah dinasnya. Selanjutnya pada pukul 02.00 WITA, Nurdin Abdullah diamankan di rumah dinas Gubernur Sulsel.
Selain uang sebesar Rp2 miliar itu, ayah dari M. Fathul Fauzi Nurdin, Putri Fatima Nurdin, dan M. Syamsul Reza Nurdin ini diduga juga pernah menerima sejumlah uang dari kontraktor lain. Misalnya, pada akhir tahun 2020 menerima uang sebesar Rp200 juta. Pertengahan Februari 2021 menerima Rp1 Miliar. Dan pada awal Februari 2021 menerima uang Rp2,2 miliar.
Sebelum ditetapkan tersangka, Nurdin mengaku tak sedang melakukan tindak pidana saat ditangkap. Hal itu dia ungkapkan saat baru digiring masuk ke Gedung Merah Putih KPK pagi harinya. Hal senada dengan yang diungkapkan juru bicara Nurdin, Veronica Moniaga. Dia membantah, bosnya terjaring operasi senyap terkait rasuah.
“Bapak Gubernur tidak melalui proses operasi tangkap tangan. Beliau dijemput secara baik di rumah jabatan gubernur pada dini hari, ketika beliau sedang beristirahat bersama keluarga,” kata Veronica dalam keterangannya, Sabtu (27/2/2021).
Setelah ditangkap, Nurdin disebut mengikuti prosedur yang ada, meski tak mengetahui pasti alasan penjemputannya itu.
Veronica mengungkapkan Nurdin berangkat ke Jakarta didampingi oleh ajudan dan petugas KPK, dan tak ada penyitaan barang bukti dalam penjemputan. Penjemputan itu tanpa disertai adanya penyitaan barang bukti, yang dibawa serta dari rumah gubernur.
Atas kasus ini, Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a, atau Pasal 12 huruf b, atau Pasal 11, dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara Agung Sujipto sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a, atau Pasal 5 ayat (1) huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
GURU BESAR UNHAS
Sebagaimana dikutip dari situs resmi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah lahir di Pare-pare, Sulsel, pada 7 Februari 1963. Ayah tiga anak ini menyelesaikan studi S1 di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar pada 1986. Kemudian melanjutkan program pascasarjana di Universitas Kyusu Jepang, dengan program studi agrikultur pada 1991. Tiga tahun kemudian, pada 1994, ia meraih gelar doktor dari universitas yang sama di bidang agrikultur.
Nurdin cukup aktif berorganisasi. Ada 10 riwayat organisasi yang pernah ia ikuti. Beberapa di antaranya, pernah bergabung dalam Persatuan Alumni dari Jepang sebagai Ketua. Lalu, pernah menjadi Ketua Badan Majelis Jami’ah Yayasan Perguruan Islam Athirah Bukit Baruga.
Selain itu, Nurdin pernah menjabat Ketua Umum KONI Kabupaten Bantaeng. Terakhir bergabung dalam Sekjen Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dari tahun 2015.
Suami dari Liestiaty F. Nurdin ini meniti kariernya di perusahaan swasta, PT Maruki Internasional Indonesia, sebagai direktur. Ia juga pernah menjadi Presiden Direktur Global Seafood Japan, dan Direktur Kyushu Medical Co. Ltd.
Dalam lingkup perguruan tinggi, Nurdin juga menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Selain itu, dia menjadi Dewan Penyantun Politeknik Negeri Makassar.
Nurdin Abdullah masuk ke ranah politik pada 2008. Saat terpilih sebagai Bupati Bantaeng, Sulsel. Saat itu, Nurdin bahkan dipercaya menjabat selama dua periode hingga 2018. Nurdin juga dikenal sebagai kepala daerah pertama yang bergelar profesor.
Selama menjabat sebagai bupati, ia tergabung di Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Angkatan IV pada 2010. Tahun 2018, tak lama usai menjabat sebagai bupati Bantaeng, ia terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Selatan untuk periode 2018-2023.
Ironisnya, belum sampai habis masa jabatannya, Nurdin tersandung kasus korupsi pada Sabtu (27/2/2021) dinihari. Ia diduga menerima gratifikasi sebanyak Rp5,4 miliar dari sejumlah kontraktor. Sebuah akhir perjalanan yang sungguh memalukan. Yang sebelumnya berjubah sosok anti-korupsi yang penuh integritas, ternyata fakta membuktikan. Sosok Nurdin, ternyata dalang dari permainan proyek Pemprov Sulawese Selatan.
Sejak Minggu ( 28/2/2021) lalu jubah anti-korupsi Nurdin Abdullah telah mengalami metamorfose. Berganti rompi oranya tersangka korupsi. Pun Nurdin ditahan selama 20 hari kedepan di rumah tahanan KPK. (EnD)